Hoax or Not
Isu penculikan anak (usia 1-12 tahun) telah dipastikan oleh pihak
kepolisian sebagai berita hoax, yang disebarluaskan oleh pihak tak
bertanggung jawab melalui aplikasi media sosial (Facebook/WA)
atau pesan singkat. Bahkan, isu pemberitaan yang tak jelas rimbanya ini sempat
menimbulkan korban fitnah. Perkara seorang perempuan yang ditemukan berkliaran
di SDN Mojo 1 Gubeng, Surabaya ia dituduh sebagai penculik anak, beruntung
Polsek Gubeng Surabaya langsung mengamankannya sebelum sempat dihakimi
massa. Masyarakat tampaknya benar-benar
dibuat resah oleh isu tersebut, apalagi disertai dengan isu penjualan organ
tubuh serupa ginjal. Terbukti, dari ibu-ibu yang rela menunggu anaknya hingga
jam pulang tiba. Namun isu maraknya penculikan anak janganlah diabaikan,
walaupun hoax, kasus penculikan anak memang telah marak terjadi di
berbagai daerah di Indonesia. Di Jakarta
misalnya, menempati posisi tertinggi sebanyak 19% disusul oleh Sumsel pada
peringkat kedua, dan Aceh sebanyak 13%.
Biasanya
memang para penculik ini berprofesi sebagai orang gila, pengemis ataupun
gelandangan. Para penculik ini termotivasi oleh bayaran dan desakan kebutuhan
ekonomi, dan gangguan jiwa seperti paedofil. Bagaimanapun, tindakan ini
amat-sangat tercela karena memisahkan anak dari orangtuanya, dan merupakan
tindak pidana perdagangan orang (TPPO), yang wajib diberantas tuntas oleh
setiap elemen masyarakat. Menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, TPPO untuk tujuan eksploitasi
ekonomi guna mendapatkan keuntungan dapat diberikan sanksi pidana penjara
paling singkat tiga tahun dan paling lama 15 tahun, serta denda paling sedikit
Rp120 juta dan paling banyak Rp600 juta.
Cara Mengantisipasi
Walaupun hoax, namun
setidaknya ada dua cara mengantisipasi maraknya kasus penculikan dan kekerasan
seksual terhadap anak, yaitu: 1) Tanamkan kewaspadaan: Katakan kepada anak
kalau dia tak boleh langsung percaya pada orang lain (baca: asing). Katakan kepada
mereka untuk tidak mau sekalipun dibujuk rayu dengan mainan maupun permen, uang
dengan nominal tertentu ataupun seolah-olah mengenal salah satu anggota
keluarga. 2) Jangan memberikan perhiasan berlebihan: Jika anak sudah bersekolah
dan bergaul dalam lingkungan umum, maka jangan pernah memberikan perhiasan yang
mencolok dan sekiranya dapat mengundang perhatian penculik, musabab dikira anak
orang kaya.
Terbukti atau tidaknya kebenaran kabar ini, kasus ini sekali lagi
menyadarkan kita, bahwa dalam mengonsumsi suatu berita haruslah ada crosscheck
terlebih dahulu, haruslah ada tabayyun atau “cicip-cicip”. Di dalam
ajaran agama Islam, sejatinya muslim/ah telah dituntun bagaimana seharusnya
bersikap terhadap berita yang dibawa oleh orang fasik (hoax), “Wahai
orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa
suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu
kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu
itu” (QS. Al-Hujurat, ayat: 6). Masyarakat harus menyaring terlebih dahulu sebelum
memastikan kebenaran suatu berita.
Apalagi, di era teknologi informasi
sekarang ini. Jangan mudah percaya begitu saja![]
0 komentar:
Posting Komentar