Review, rekomendasi dan kritik film bermutu.

Senin, 15 Mei 2017

TV PUN MENDADAK ‘ALIM

Sebentar lagi Ramadhan tiba, dan tv-tv kita pun mendadak jadi ‘alim dengan menyajikan program-program Islami. Semisal program-program menjelang berbuka ataupun sahur yang diselingi kuis-kuis. Para pemirsa pun dimanjakan dengan kisah-kisah lucu atau kisah-kisah yang penuh dengan pesan moral. Perasaan pemirsa di bulan mulia itu dibuat campur aduk, ditambah lagi dengan tayangan iklan sirup legend “Marjan”. Hahaha. Saya pribadi tidak mau terlalu sinis dalam menanggapi fenomena ini. saya pikir ini adalah cara baru dalam memanfaatkan media untuk menyemarakkan Bulan Ramadhan. Jadi, bisa lewat kultum dan lainnya. Yang pasti didalamnya wajib memuat pesan-pesan dakwah. Metode semacam ini saya pikir cukup efektif dalam misi menyebarkan perintah dan larangan Tuhan. Apalagi, semisal acara kultum yang biasanya mengundang da’i kondang atau ustadz yang memang berbobot di bidangnya. Selain itu, saya sangat senang jika puasa nanti, program-program acara seperti “Hafidz Indonesia” ikut ditayangkan kembali. Tentu hampir setiap orang setuju, tayangan semacam ini mampu melecutkan semangat kita, terkhusus umat Islam untuk ikut menjaga kemurnian al-Qur’an dengan cara menghafalnya. Subhanallah!

Dibalik semua itu, saya juga memahami, bahwa barang tentu pihak televisi dalam hal menyuguhkan program-program tersebut karena mempertimbangkan rating, share dan iklan yang bermuara pada meningkatnya pemasukan. Namun, pihak televisi tidak hanya memanfaatkan fenomena bulan suci ini sebagai ajang jualan semata. Secara tidak langsung pihak televisi telah ikut mempublikasikan pesan-pesan ‘perdamaian dan spriritualitas’ Islam selama sebulan penuh dan insya Allah tersebarkan secara merata. Biasanya jam tayang utama atau lebih keren dengan sebutan Prime Time adalah sebelum maghrib menjelang berbuka puasa, dan saat sahur hingga waktu shalat subuh, sekitar pukul 02.00-05.00 wib. Berikut beberapa program acara yang sempat fenomenal di Bulan Ramadhan: 1) Seribu Satu Mesjid di Global TV, 2) Akademi Sahur Indonesia (AKSI) Junior di Indosiar, 3) Mozaik Ramadhan dan Berita Islami Masa Kini baik di TransTV maupun Trans7, 4) Da’i Muda Indonesia di MNC TV, 5) Hafidz Indonesia di RCTI, 6) Para Pencari Tuhan di SCTV, 7) Travelling Islam , 8) dan Kultum-kultum menjelang berbuka yang dinilai positif dalam menemani ibadah puasa kita.

Tema-tema Menjelang Puasa

Dapat dikata, Bulan Ramadhan tidak hanya spesial bagi umat muslim yang melaksanakannya, tapi juga tak luput tv-tv nasional kita yang tiba-tiba merubah haluan acaranya. Berikut 8 tema fenomenal yang kerap diangkat televisi menjelang hingga sampai puasa berakhir, diantaranya: 1) Acara Sahur, yang bahkan ikut dimeriahkan oleh artis beragama non-Islam, 2) Ulasan Islami, 3) Kompetisi Islam, 4) Masak-masak, 5) Kultum menjelang maghrib, 6) Sinetron Islami, 7) Musik religi, 8) Iklan produk makanan yang bersanding dengan adzan Maghrib. Sala satu iklan yang paling legend adalah iklan sirup “Marjan” yang tayang sampai berepisode bak sinetron. Hehehe. 9) dan berita khas puasa seperti liputan khusus mudik, ziarah ke makam oleh para artis, artis hijrah.

Infotainment di Bulan Puasa Dihapuskan Saja!

Malah jika boleh, di bulan yang suci ini program acara semacam infotainment atau gosip seputar selebritis dihapuskan saja! Apalagi jika gosip tersebut memuat hal-hal yang berbau ghibah (menceritakan keburukan-keburukan orang lain). Seperti mengungkap aib dan privasi seseorang artis, menayangkan konflik perceraian artis, perebutan hak asuh, mengandung muatan seksual dan kekerasan secara tidak langsung dalam setiap tayangannya. Tentu hal-hal demikian ini tidak elok lah jika ikut ditayangkan pada Bulan Ramadhan. Untuk itu, masyarakat terutama muslim kita himbau untuk selektif dalam memilih acara-acara tv di bulan Ramadhan.

Nilai Hiburan Masih Lebih Dominan

Juga tak dapat dipungkiri, bahwa nilai-nilai hiburan seperti komedi lebih dominan ketimbang unsur-unsur religius. Tapi, hal tersebut dapat saya pahami sebagai cara agar pemirsa tidak bosan dengan muatan acara yang disajikan. Unsur-unsur religius yang lebih dominan tanpa adanya selingan, hanya akan menciptakan suatu tontonan yang amat-sangat monoton untuk dikonsumsi. Lagipula, tv tetap kembali kepada hakikatnya sebagai sebuah media hiburan (only to entertain). Alhasil, kita semua berharap, semoga tayangan-tayangan Ramadhan nantinya dapat memberikan pencerahan dan mengajak pemirsa muslim untuk lebih dekat kepada Allah SWT. Selain itu, semoga tayangan-tayangan Ramadhantaiment, yang menghadirkan tayangan religi yang mendidik dan program dialog yang menyejukkan ini dijadikan role model sebagai contoh tayangan yang baik untuk dikonsumsi bersama keluarga. 
Share:

Minggu, 14 Mei 2017

DOMINASI PEMBERITAAN PILKADA DKI 2017

Berbicara DKI Jakarta memang akan selalu menarik bagi masyarakat Indonesia. Mungkin karena statusnya yang ibukota, barometer Indonesia, penuh gemerlap dan glamour, permasalahan macet dan bajir yang tak kunjung usai juga tak terkecuali Pilkada, yang dalam perhelatannya memunculkan nama-nama orang besar dan mentereng. Sorotan kamera dan torehan tinta para pewarta pun tak luput untuk terus mengabarkan setiap detik perkembangannya, walaupun ada ratusan daerah lain yang juga menyelenggarakan hal yang sama.

Apalagi, Ahok sang petahana yang memang tak dapat diragukan kontribusinya dalam merapikan Jakarta baik secara kinerja, visi-misi, dan progra. Namun, tak dapat disangkal juga bahwa nama besarnya tercoreng akibat perkataannya terkait ayat Al-Maidah: 51. Tulah perkataannya tersebut sempat mengundang umat Islam seluruh nusantara berbondong-bondong memutihkan Jakarta. Dengan baju gamis dan surban putih serta kegeraman yang membuncah, mereka serentak mengkritik pemerintah yang kala itu lamban dalam mengadili kasus Ahok. Alhamdulillah, kini Ahok telah duduk dibangku pesakitan, dan masing-masing kubu menanti vonis dengan harap cemas. Ya, mungkin itulah yang menjadi nilai lebih dan khas dari perhelatan demokrasi ini, sarat gengsi dan etnis yang semestinya ditiadakan dalam sebuah kontestasi bernama Pilkada.   

Selain itu, keunikaan dari Pilkada rasa Pilpres ini ialah masing-masing kubu memiliki televisinya sendiri sebagai referensi. Kubu pro-Ahok jelas akan menonton Metro TV untuk menambah data dan fakta, sebaliknya kubu Anies-Sandi tampaknya secara tidak langsung bakal menonton iNews TV sebagai bahan rujukannya. Adapun tvOne tidak begitu terbaca, padahal diketahui Golkar berpihak kepada Ahok jua. Metro TV misalnya, hampir di setiap waktu dan progam selalu membicarakan tentang Ahok: kebaikan Ahok, kehebatan Ahok, dan segala hal tentang Ahok yang kerap disebut “Badja (Basuki-Djarot)”.  Secara tersirat, bahkan pemirsa Metro TV akan paham bahwa ada upaya tv yang didirikan Ketum Nasdem ini untuk mengalihkan isu. Penulis meyakini pengalihan isu itu berupa pengalihan isu penistaan agama menjadi isu Ahok yang terdzalimi dalam Pilkada 2017 ini berdasarkan etnisitas dan agama yang dimilikinya.

Sedangkan, iNews TV milik pengusaha sekaligus Ketum Perindo, Hary Tanoesoedibjo, yang belakangan mendukung paslon nomor 3 tampak getol mengawal sidang Ahok dengan mengundang pengamat yang kebanyakan kontra-Ahok. Menjadikan Pilkada DKI begitu wow, sekaligus menempatkan media menjadi cenderung memihak salah satu pihak. Lucunya, baru-baru ini di Prime Time News Metro TV seusai sidang, Zackia Arfan dan Andini Effendi menanyakan alasan Ahmad Ishomuddin yang mau menjadi saksi ahli agama dari pihak Ahok. Ahmad pun menjawab karena niat untuk menista hanya diketahui oleh Allah SWT dan Ahok sahaja, sehingga jika ingin tahu niat Ahok yang sesungguhnya ya harus bertanya kepada Ahok. Namun, penulis agak janggal dengan alasan yang seperti itu, jika memang demikian tentu permasalahn sudah usai, dan tentu tidak perlu ada pengadilan lagi. Bukankah pengadilan itu ada untuk mengungkap sesuatu yang tersembunyi. Unik sekaligus menarik! Selain itu, Ahmad Ishomuddin kerap ditekankan Metro TV mewakili PB-NU, padahal ia diundang atas nama pribadi sebab tiadanya surat tugas.          

Pilihan untuk memilih Ahok-Djarot atau Anies-Sandi memang menjadi hak penuh warga Jakarta. Secara konstitusional negara kita memang membolehkan siapa saja untuk menjadi pemimpin selama ia sanggup dan mampu untuk mengemban amanat itu. Namun, secara konstitusional negara kita juga membolehkan masyarakatnya untuk meyakini agama yang dipeluknya. Adapun media mainstream nasional seperti Metro TV dan iNews TV haruslah berimbang dan kredibel dalam memberitakan Pilkada, sekalipun berpihak, maka berpihaklah kepada rakyat. Sekian.
Share:

Nasdem dan Metro TV (Kritik dan Saran)


Partai Nasdem baru-baru ini resmi mengusung Kang Emil (Sapaan akrab Ridwan Kamil) sebagai calon gubernur Jabar, meskipun perhelatannya baru akan dilangsungkan beberapa bulan lagi. Tapi, seolah partai yang didirikan Surya Paloh ini ingin menekankan eksistensi bahwa mereka akan terus mendukung putra-putri terbaik bangsa untuk memimpin di daerah, salah satunya ya Kang Emil. Tidak salah memang, tapi jika terlalu digembar-gemborkan melalui media sekelas Metro TV beberapa hari yang lalu sampai masuk program Prime Time News, saya rasa malah menjadi sedikit lebay.  Jadi, pemirsa yang menontonnya, akan merasakan pemberitaan partai ini begitu mencolok, ya sebelas dua belas tampaknya dengan tv-tv milik HT, yang sekaligus pemilik MNC Media Group.

Memang, kepemilikan media tidak akan terhindar dari konten media yang disajikannya. Dalam pendekatan ekonomi politik, kepemilikan media (media ownership) mempunyai arti penting untuk melihat peran, ideologi, konten media dan efek yang ditimbulkan media kepada masyarakat. Walhasil, para pemilik media merupakan pihak yang kuat yang belum dapat “ditundukkan” dalam alam demokrasi. Golding dan Murdock melihat adanya hubungan erat antara pemilik media dengan kontrol media sebagai sebuah hubungan tidak langsung. Lebih lanjut Ecep S. Yasa mengatakan, bahwa pemilik media dapat memengaruhi independensi media tersebut. Independensi menjadi area abu-abu. Bisa tidaknya sebuah paket pemberitaan ditayangkan menjadi kewenangan pemilik media. Hal ini kemudian sangat bergantung pada ideologi, kepentingan dan afiliasi politik media.

Dalam menjalankan usahanya, media atau pemilik media bersingungan dengan kekuasaan. Para pemilik media kerap ditemukan sebagai elite-elite bisnis industri yang berhubungan erat dengan para elite pemegang kekuasaan. Maka, pemberitaan menjadi tidak bebas lagi; muatannya kerap memperhitungkan aspek politik. Produk pemberitaan menjadi margin kepentingan politik. Tema-tema termasuk Nasdem mengusung Kang Emil sebagai Jabar 1 disesuaikan dengan orientasi tersebut. Tentu kita ingin kenetralan Metro TV terbentuk sebagaimana awal mulanya ia berdiri sebagai tv berita pertama di negeri ini. Jangan malah semakin parah menjadi sebuah alat corong politik.

Tentu alangkah lebih baik, jika sebuah tv dimanfaatkan buat sebesar-besarnya kemanfaatan rakyat dan bukan buat kepentingan partai sendiri, walaupun mengatasnamakan kesejahteraan rakyat. Alangkah lebih baik, jika tv sebagai watchdog tetap bersikap kritik yang membangun, bukan malah tumpul kepada tuannya. Walaupun mengharapkan tv menjadi lembaga yang netral merupakan pepesan kosong, namun mendambakan tv yang berpihak kepada rakyat tentu bukanlah pilihan yang sulit. Asalkan si empunya mau berbesar hati. Pertanyaannya, “Maukah seseorang membuang begitu saja alat yang mampu mendongkrak citranya?” tentu saja dengan sangat berat hati.

Jangan sampai, Metro TV yang kami banggakan tidak segarang dulu, malah terkesan membabi buta dalam memberitakan satu pihak saja, yang seolah paling benar dan tanpa cacat cela, sehingga minim kritik bahkan tanpa analisis lebih tajam. Mungkin ada benarnya, bahwa sejarah pers menunjukkan, bahwa media cenderung mementingkan kepentingan pemilik, sedangkan pada saat yang sama melanggengkan kesan bahwa pers adalah untuk melayani kepentingan pengguna berita. Terlalu berangan-angan bila berharap bahwa media berita akan berbelok 180 derajat dan mencemoohkan keinginan pemilik. Wallahu ‘alam bish shawab. Wassalammu’alaikum J
Share:

Kamis, 11 Mei 2017

The Insider


Sutradara       : Michael Mann
Artis                : Al Pacino, Russell Crowe
Durasi             : 157 Menit
Rilis                 : 1999
Negara            : Amerika Serikat


“Sampaikanlah Kebenaran, walaupun itu pahit”. (Sabda Nabi Muhammad SAW)

Film ini merupakan film yang berbasis pada dunia jurnalistik. Yang menceritakan tentang bagaimana peran jurnalistik dan media massa. Dalam hal ini, televisi untuk mengkomunikasikan suatu fakta dan realitas kebenaran. Sehingga, dapat memberikan suatu pengaruh terhadap masyarakat yang melihatnya. Dalam film ini, diceritakan seorang Mantan Direktur Perusahaan Rokok yaitu Brown & Williamson (B&W) Tobacco Company, Jeff Wigand. Ia dikeluarkan dari perusahaan rokok tersebut, karena ia tak ingin menghancurkan citra kemanusiaannya dan juga idealismenya sebagai ilmuwan.
Ia ingin membeberkan kebohongan yang dilakukan oleh perusahaannya itu. Mengenai zat adiktif yang terkandung dalam rokok yaitu nikotin. Ia pun bertemu dengan seorang jurnalis senior yang sangat berpengalaman, dalam hal mengungkapkan suatu kebenaran kepada publik yang juga menjabat sebagai produser acara “60 minutes“ di televisi CBS. Yaitu Lowell Bergman.
Bergman dengan sabar berusaha untuk meyakinkan Wigand, agar ia mau mengungkapkan masalahnya dalam acara “60 minutes“. Berbagai upaya ia lakukan, rayuan, bujukan ia lakukan untuk meyakinkan Wigand. Slowly but steady, akhirnya Wigand pun bersedia untuk diwawancarai oleh Bergman dalam acaranya tersebut. Ia mulai percaya pada Bergman yang sepertinya dapat membantunya, dalam menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi.
Namun, niat dan langkah yang diambil oleh mereka berdua menuai ancaman. Wigand terus diteror oleh pihak perusahaannya, nama baiknya pun ikut dicemarkan, diputuskan tunjangan ekonomi bagi keluarganya, hingga ancaman pembunuhan yang sifatnya menyerang sisi psikologis Wigand. Ancaman-ancaman tersebut merupakan upaya untuk menggagalkan proses wawancara yang akan dilakukan Wigand di acara “60 minutes“. Wigand mulai stress terhadap berbagai tekanan yang ia alami.
Akhirnya Wigand dan Bergman melakukan wawancara. Yang dalam wawancaranya itu Wigand mengungkapkan semua kebohongan, yang selama ini perusahaannya lakukan. Ia memaparkan mengenai efek nikotin, dan unsur dalam nikotin seperti coumarin yang mempengaruhi otak dan sistem syaraf. Ia juga menjelaskan tentang impact boosting lewat ammonia yang digunakan, dan zat karsinogen yang dapat menyebabkan kanker paru-paru.
Setelah proses editing wawancara itu selesai, klimaks cerita pun muncul yaitu wawancara tersebut tidak dapat ditayangkan oleh pihak televisi CBS, karena takut akan tuntutan yang berakibat fatal bagi perusahaan tersebut. Tuntutan berupa ganti rugi milyaran dolar dan pembelian tanpa syarat stasiun televisi CBS News.
Serangan balik bagi Wigand pun kembali dilancarkan oleh pihak perusahaannya. Pihak perusahaannnya membeberkan semua informasi kehidupan sisi buruk seorang Wigand di masa silam. Memutarbalikkan fakta yang sebenarnya, yang menghancurkan reputasi Wigand, dan merupakan senjata untuk pembunuhan karakter Wigand. Wigand yang sementara itu bekerja sebagai guru kimia dan bahasa jepang di salah satu sekolah menjadi semakin tertekan dan stress.
Berkaitan dengan keberatan CBS dalam penayangan hasil wawancara tersebut, akhirnya diusulkan wawancara alternatif. Namun, tayangan tersebut begitu hambar dan sama sekali tidak mengungkapkan kebohongan perusahaan B&W. Hal itu dikarenakan terdapat banyak penyensoran isi wawancara, yang akhirnya membuat wawancara tersebut sama sekali tidak menguak kebenaran yang ada. Tapi, usaha Bergman dalam menayangkan wawancara versi aslinya tidak berhenti, ia berjuang dalam upaya untuk menayangkan wawancara tersebut, dan menolak keras intervensi perusahaan dalam kegiatan jurnalistik.
Dan akhirnya, CBS menayangkan wawancara versi aslinya. Dalam wawancara tersebut semua kebohongan Perusahaan Rokok B&W dipaparkan habis-habisan. Bahkan, didukung dengan editing gambar yang menampakkan cinematic dari kesaksian CEO B&W yang mengatakan bahwa “Saya percaya bahwa nikotin tidak zat adiktif“. Kemudian dilanjutkan dengan pernyataan Wigand “Aku percaya Thomas Sandefur memberikan kesaksian palsu… Aku melihat kesaksian itu dengan seksama“. Sehingga, semua fakta dan realita mengenai penjelasan Wigand mengenai dampak kesehatan, yang dapat diakibatkan oleh zat yang terkandung dalam nikotin tersebut semakin terkuak.
Semua orang di berbagai pelosok melihat wawancara itu dengan seksama, begitu juga dengan anak-anak Wigand. Wigand hanya terdiam seolah berkata inilah kebenarannya. Bergman akhirnya melepaskan jabatannya dari produser dan reporter stasiun televisi CBS.

 Film ini benar-benar menampilkan sisi idealis seorang ilmuwan, dan juga seorang jurnalis yang sangat teguh memegang the true of investigation reporting-nya. Ia benar-benar berjuang demi tugasnya. Dan mendedikasikan dirinya hanya untuk jurnalistik, yang dapat memberikan suatu harapan keselamatan bagi orang banyak.[]
Share:

Rabu, 10 Mei 2017

STATE OF PLAY


Directed by : Kevin MacDonald
Produced by : Andrew Hauptman, Tim Bevan Eric Fellner
Written by : Matthew Michael Carnahan, Tony Gilroy, Peter Morgan, Billy Ray dan Paul Abbott (series) Starring : Russell Crowe, Ben Affleck, Rachel McAdams, Viola Davis, Robin Wright Penn, Jason Bateman, Helen Mirren
Durasi : 129 menit
Studio : Working Title Films, StudioCanal, Relativity Media, Andell Entertainment
Distributed by : Universal Pictures

A. Resume:
“Adegan pembuka State of Play mengingatkan kita kala
membaca sebuah novel kriminal. Seorang pria berlari menembus malam, mencoba menghindar dari pemburu yang bakal mencabut nyawanya. Malang benar nasib orang itu
ketika usahanya tetap berbuah kematian. Seorang pengantar pizza yang melihat kejadian itu pun ikut  menjadi korban.
Selanjutnya, di lain waktu dan di lain tempat seorang perempuan bernama Sonia Baker meninggal terlindas kereta api dan diduga banyak orang sebagai aksi bunuh diri. Sonia ini ternyata merupakan staf dari anggota kongres, Stephen Collins (Ben Affleck). Belakangan diketahui, Sonia mempunyai hubungan khusus dengan atasannya tersebut. Tentu saja kejadian ini mengancam posisi Stephen, karena telah mempunyai istri, Anne Collins (Robin Wright Penn). Cal McAffrey (Russel Crowe) seorang wartawan Washington Globe berniat menyelidiki kematian Sonia Baker, seorang asisten kongres yang ternyata terlibat skandal menjalin hubungan percintaan dengan Stephen Collins, anggota kongres yang juga  sahabat baik Cal. Didera perasaan bersalahnya karena pernah berselingkuh dengan istri Stephen, Anne, Cal berniat menyelidiki kasus tersebut. Penyelidikan Cal yang dibantu wartawan online di Globe, Della Frye (Rachel McAdams) menggiring mereka pada teori konspirasi yang melibatkan PointCorp, sebuah private defense contractor.”

Film yang bertemakan politik ini disutradarai oleh Kevin MacDonald. State of Play bercerita tentang penyelidikan beberapa orang jurnalis atas terjadinya pembunuhan seorang wanita bernama Sonia Baker yang ternyata merupakan selingkuhan dari salah satu anggota Kongres.
            State of Play diawali dengan adegan penembakan seorang perampok oleh seorang pria yang memegang sebuah koper. Sang penembak juga menyemburkan timah panas ke arah seorang pengantar pizza, yang tak sengaja menyaksikan kejadian tersebut.  Penembakan itu membuat pengantar pizza koma dan harus dirawat di rumah sakit. Keesokan paginya, di sebuah jalur kereta api ditemukan seorang wanita tewas dan diduga sebagai usaha bunuh diri.
            Wanita tersebut adalah Sonia Baker, seorang pegawai dari anggota Kongres Pennsylvania, Stephen Collins. Pada saat konferensi pers, Stephen meneteskan air mata atas kematian Sonia Baker. Hal itu menimbulkan spekulasi di kalangan pers bahwa Stephen telah menjalin suatu hubungan khusus dengan Sonia.
            Di lain tempat, jurnalis Cal McAffrey yang merupakan mantan teman satu kamar asrama Stephen Collins di masa kuliah, sedang berdiskusi tentang permasalahan itu dengan Della Frye, seorang reporter baru yang mengelola harian online. Pada awalnya, Cal menyelidiki pembunuhan seorang perampok yang diceritakan pada awal film. Namun, seiring perkembangan informasi ia menemukan adanya benang merah antara Sonia Baker dan perampok tersebut. Ini menunjukan sifat kreatif dan out of the box yang dimiliki seorang jurnalis.
            Berdasarkan salah satu sembilan elemen jurnalis yaitu kewajiban utama jurnalisme adalah pada pencarian kebenaran, Cal dan Della akhirnya memutuskan untuk menyelidiki kasus ini.  Investigasi Cal juga sebenarnya  didorong rasa bersalahnya karena dulu sempat berselingkuh dengan istri Stephen, Anne Collins. Apalagi, Stephen datang langsung ke apartemennya dan meminta bantuan Cal. Film yang diproduseri oleh Andrew Hauptman ini sangat menonjolkan sifat-sifat yang mencerminkan diri seorang jurnalis, seperti pandai bernegosiasi, coffered, konteks, kreatif, dan memiliki banyak ‘link’.
            Cal dan Della terus mencari informasi dan melakukan penyelidikan tentang kasus ini karena esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi. State of Play  menggambarkan penelusuran Cal dan Della atas kasus ini yang ternyata justru membuka sebuah kasus besar yang melibatkan berbagai pihak militer Amerika Serikat. Cal dan Della tetap menjaga independensi dari obyek liputannya.

B. Gambaran Proses Investigasi:
1.      Naluri berita. Cal dan Della cepat tanggap terhadap masalah yang sedang terjadi. Mereka mengembangkan masalah pembunuhan hingga menjadi suatu masalah yang pelik. Mereka mampu mengenal berita dengan baik dan mencari petunjuk-petunjuk yang berhubungan dengan berita yang mereka selidiki.
Adegan: Pada awalnya kebanyakan media berspekulasi bahwa kasus kematian Sonia Baker murni bunuh diri, namun Cal McAffrey  mencoba mengurai segala sesuatu yang berkaitan dengan proses kematian Sonia Baker. Cal menggunakan berbagai cara untuk memperoleh data yang akurat dan objektif mengenai kronologi yang sesungguhnya di balik kematian Sonia Baker.
2.      Observasi. Bekal ini dimiliki oleh setiap wartawan temasuk Cal dan Della. Untuk mendapatkan berita yang akurat, mereka melakukan observasi.
Adegan: Mulai dari mencari tahu pelaku pembunuhan melalui CCTV yang ada di stasiun kereta bawah tanah saat meninggalnya Sonia Baker, mencari bukti lewat barang-barang si pengguna narkoba yang meninggal, dan sebagainya.
3.      Keingintahuan. Cal dan Della memiliki keingintahuan yang sangat besar. Keingintahuan itulah yang menghantarkan Cal menarik sebuah kesimpulan dari dua peristiwa yang tidak berhubungan menjadi sebuah berita yang saling berkelindan.
Adegan: Cal yang menguraikan beberapa fakta mengenai hubungan Collins dengan Sonia ketika Collins meminta bantuan kepadanya untuk memperbaiki citranya sebagai anggota kongres, kebetulan Cal adalah sahabat Collins ketika ia masih berada di bangku kuliah. Pada kesempatan ini lah Cal mengorek segala informasi dari Collins. Collins mencoba meyakinkan Cal bahwa Sonia tidak mati bunuh diri, karena pada pagi hari sebelum Sonia meninggal, Collins masih melakukan video call dengan Sonia. 
4.      Mengenal Berita. Sebagai seorang wartawan, Cal dan Della mengenal posisinya dalam berita. Cal menulis tentang berita kriminal, sedangkan Della menulis tentang berita kehidupan pribadi para politikus. Melalui kasus yang menimpa Stephen Collins, mereka berdua bekerja sama untuk menyelidiki kasus yang akan mereka jadikan berita yang ternyata saling berkaitan erat.
Adegan: Untuk membantunya mengurai kasus ini, Cal meminta bantuan kepada seorang penulis artikel bernama Della Frye. Cal dan Della segera memburu data dari sekian banyak informasi yang mereka terima dari orang-orang yang mengenal Sonia Baker. Akhirnya mereka dapat mengetahui bahwa Sonia Baker berkerja pada PointCorp yang merupakan pesaing dari anggota kongres. Sonia ditugaskan untuk mencari informasi dari Stephen Collins yang merupakan “musuh” dari PointCorp. PointCorp dikenal sebagai kelompok yang tidak segan untuk melakukan segala sesuatu untuk kepentingan intern sekalipun itu harus membunuh seseorang. Selain itu, Cal dapat mengetahui bahwa Sonia mengandung anak hasil hubungan gelapnya dengan Collins.
5.      Menangani Berita. Cal dan Della menangani berita dengan baik. Mereka tidak sembarangan menulis berita. Tetapi kebebasan mereka dalam menulis harus sesuai dengan moral.
Adegan: Dari sekian banyak informasi, Cal dapat mengambil kesimpulan bahwa Sonia dibunuh oleh seorang anggota PointCorp. Kesimpulan itu diambil berdasarkan analisis bahwa Sonia tidak lagi dapat diandalkan oleh PointCorp untuk mencari informasi mengenai Stephen Collins. Namun secara tidak diduga kesimpulan itu runtuh karena ternyata dapat dibuktikan bahwa Collins lah yang membunuh Sonia. Dengan mengikuti nuraninya sebagai seorang jurnalis, Cal segera menulis artikel mengenai kronologi sesungguhnya yang terjadi dibalik kematian Sonia Baker, sekalipun ia harus mengorbankan hubungan persahabatannya dengan Collins.
6.      Kepribadian yang Luwes. Cal dan Della menunjukkan dirinya sebagai pribadi yang luwes saat mencari informasi dan berhubungan dengan orang lain. Karena jika sudah memulai hubungan yang baik, maka akan menjadi pribadi yang menyenangkan dimata orang tersebut.
Adegan: Seperti saat Cal ingin mendapatkan informasi melalui barang-barang peninggalan si pengedar narkoba di rumah sakit, Cal melakukan pendekatan dengan mengajak bicara santai salah satu perawat disana. Walaupun dilarang tetapi Cal tidak sampai melanggar aturan.
7.      Pendekatan yang Sesuai. Cal dan Della melakukan pendekatan terhadap setiap narasumber yang mereka dapat. Dan mereka menyesuaikan diri terhadap setiap narasumber.
Adegan: Seperti saat Della mewawancarai setiap orang yang berhubungan dengan Sonia Baker bahkan ia sempat diajak kencan oleh narasumbernya. Hal ini membuktikkan bahwa sebagai wartawan, harus mampu mencari informasi dengan pendekatan yang sesuai.
8.      Kecepatan dan Keakuratan Berita. Dalam mencari berita, Cal dan Della sangatlah gesit. Mereka dikejar oleh deadline. Walaupun demikian, berita yang disajikan tidak boleh asal-asalan. Kecepatan sangat perlu dalam mencari berita, tetapi isi berita haruslah akurat. Seperti halnya sikap yang harus dimiliki seorang wartawan, hal ini juga termasuk bekal dalam mencari berita dan mengejar deadline. Cal dan Della menulis berita dengan berhati-hati. Tidak merasa diri mereka paling benar. Selain itu mereka juga akurat. Cal dan Della mencari informasi dengan teliti, dan tidak tergesa-gesa mengambil kesimpulan.
Adegan: Walaupun Cal dan Della harus ditekan oleh editor-nya untuk mengumpulkan berita, mereka tidak patah arang, melainkan dengan sigap langsung mencari data-data penting yang berhubungan dengan beritanya.
9.      Kecerdikan. Dalam membuktikan kasus pembunuhan pengguna narkoba dan Sonia Baker, Cal dengan cermat membaca suatu benang merah yang menghubungkan langsung dengan pembunuhnya. Cal dan Della juga selalu menggunakan gagasan-gagasan yang orisinil dalam mengumpulkan berita. Walaupun terkesan memaksa, tapi hal itu dilakukan untuk mendapatkan bukti dan kebenaran atas berita yang terjadi.
Adegan: Seperti saat Cal dan Della mencari tahu informasi melalui Dominic Foy tentang hubungan Sonia dengannya. Awalnya, Dominic tidak ingin memberitahu, tapi Cal berhasil menakutinya dengan mengatakan bahwa berita akan dimuat dengan menggunakan namanya secara langsung. Akhirnya, Dominic setuju dan membeberkan tentang penyelewengan yang dilakukan oleh PointCorp.
10.  Daya Ingat yang Tajam, Buku Catatan, Berkas Catatan, Surat Kabar/ Internet/ TV/ Radio. Bekal ini sangatlah berguna sebagai wartawan. Cal dan Della selalu membawa buku catatan saat mendapat berita yang penting. Selain itu, mereka juga mengandalkan berkas catatan.
Adegan: Ini terlihat saat mereka hendak mencari berita tentang Sonia Baker, mereka menggunakan berkas-berkas catatan kehidupan Sonia untuk mencari informasi penting. Lalu mereka juga menggunakan internet dan surat kabar untuk terus memantau perkembangan berita pembunuhan dan Stephen Collins. Bahkan melalui foto yang dipasang di sebuah berita di surat kabar, Cal dapat menemukan pelaku pembunuhannya. Ini berarti bahwa hal-hal diatas sangatlah berharga.
11.  Jujur. Disini kemerdekaan seorang jurnalis diuji, ketika ia dihadapkan pada sebuah kenyataan antara relasi personalnya dengan kewajibannya kepada masyarakat luas. Cal telah menunjukkan bahwa nuraninya berbicara pada sebuah kebenaran yang harus dipublikasikan kepada khalayak umum ketimbang ia harus menjadi seorang yang munafik.
Adegan: Cal dan Della seringkali dihadapkan pada fakta yang mencengangkan. Apalagi fakta tersebut berhubungan dengan sahabatnya, Stephen Collins. Kadang Cal merasa harus menutupinya, tetapi sebagai seorang wartawan, ia harus transparan, memberitakan yang sebenarnya. Cal menjalankannya dengan baik, bahkan ketika mereka menemukan penyebab kematian Sonia yang ada sangkut-pautnya dengan Stephen, Cal tidak menutupinya melainkan mengatakan kebenarannya kepada publik.
Film State Of Play menggambarkan bagaimana menjadi wartawan yang tangguh. Bahkan harus berjuang antara hidup dan mati. Cal hampir saja tertembak saat hendak menemukan pelaku pembunuhan. Tapi hal itu tidak membuat Cal putus asa dan ia terus berusaha untuk mencari sebuah berita yang berdasarkan fakta dan bukan “gosip” belaka. Nalurinya sebagai wartawan sangatlah tajam. Inilah jalan hidup wartawan yang memiliki tanggung jawab yang besar dan merupakan tujuan mulia untuk menyampaikan berita.


”Sebagai seorang wartawan yang bagus, kau tak boleh memiliki sahabat; kamu hanya boleh memiliki narasumber,” kata Lynne, Pemred Washington Globe. [Sekian.]
Share:

Selasa, 09 Mei 2017

Awas, Banyak Copet; Sederhana, Pesan Moral, Segar.

 Jadi, kali ini kita akan bahas RCTI. Stasiun tivi yang menurut penulis yang sok kejam ini adalah stasiun tivi yang ngepop abis. Iya, menjadi pop di dalam sebuah lingkungan tidak pernah salah. Tapi, di jaman sekarang, sepertinya mencoba meluaskan zona nyaman adalah hal terbaik, karena kalau tidak, kemungkinan untuk dihancurkan gaya baru amat tinggi.

Oke, kali ini kita akan coba membahas salah satu sinetron dari RCTI. Taraaa... Awas Banyak Copet.

Apaan sih? Kan dari judulnya udah dikasih tahu. Aneh nih penulisnya.

Jadi, Awas Banyak Copet adalah sinetron yang masih fresh di RCTI. Nah, sebenarnya Awas Banyak Copet bisa dibilang spin off dari sinetron RCTI sebelumnya yang cukup sukses, yaitu Preman Pensiun.

Preman Pensiun sebenarnya cukup sukses di pasaran waktu itu. Dengan pemeran-pemeran hebat, Epy Kusnandar, Alm. Didi Petet, Mat Drajat. Dengan semua kelucuan yang diambil dari banyak sudut. Dengan kesederhanaan cerita berlatar Bandung. Dengan gebrakan baru di sinetron indonesia pada masa itu.

Kalau ada yang nanya, apakah penulis suka sinetron Preman Pensiun? Lagi, kalau ada yang nanya, maka jawabannya suka. Tapi, jujur gak terlalu mengikuti kisahnya setiap episode.

Awas Banyak Copet mengambil cerita soal kehidupan para pencopet di Bandung. Sekolah pencopet, aksi para pencopet, kehidupan para pencopet, mantan pencopet, dan semua seluk beluk dunia percopetan.

Oop. Tunggu dulu! Sebelum itu, tahu gak apa kepanjangan copet? Dari yang penulis tonton, copet itu kepanjangan dari comot dompet.

Bermodalkan cerita copet itu, sinetron ini dikemas dengan tempo yang cenderung lambat, bahkan terkesan datar. Kelucuan bisa datang dari mana saja. Ada banyak scene-scene pendamping yang menambah kesan sinetron ini.

Terus, kenapa penulis menyebut ini sinetron sederhana?

Jawabannya ya sederhana. Hahahahaha....
.
Itu lagi becanda. Jawabannya karena ini dikemas dengan musik sederhana, sinematografi sederhana, kehidupan orang-orang sederhana, dan dikemas dalam sederhana.
.
Sebenarnya, mwmbahas kenapa disebut sederhana agak rumit, supaya gamblang, coba pantengin sinetron ini, paling tidak satu episode, dan kawan-kawan akan paham kenapa sinetron ini sederhana.
.
Selain sederhana, sintron ini penulis beri label 'berpesan moral'.
.
Ada banyak hal-hal kecil, pesan-pesan sederhana yang ditampilkan dalam sinetron ini, penulis akan coba tuangkan dalam satu contoh scene yang ada dalam sinetron ini. Oke? Siap ya?
.
Pertama, scene dibuka dengan adegan seorang tukang becak dayung tidur di becaknya sembari menunggu pelanggan di siang hari di pinggir jalan. Lagi tidur nyenyak, seorang pelanggan datang ingin naik becak, pengayuh yang tidur tadi gak bisa dibangunin, tidurnya nyenyak sekali. Tiba-tiba, lewat sebuah becak lain yang kosong, lalu si ibu pun akhirnya naik becak yang baru lewat ini.
.
Berapa lama, scene diulang seperti itu lagi. Sesudahnya, tukang becak yang tidur tadi terbangun, gak berapa lama temannya sesama tukang becak parkir di sebelah becaknya. Tukang becak yang tidur tadi mengeluh, " Siang ini sepi ya. Gak ada pelanggan."

Dengan scene sederhana itu, sinetron ini menyampaikan pesan sederhana. Ini keren.

Sinetron ini juga cukup segar. Bayangkan kalau anda lelah menonton sinetron-sinetron alay lain, menonton kelucuan-kelucuan segar dalam sinetron ini.

Dengan ini, penulis bisa bilang bahwa Awas Banyak Copet merupakan salah satu sinetron layak tonton. Sekali lagi, ada banyak tontonan yang tidak layak tonton. Hahahahahahaha....

Ini ketawanya gitu amat yak?

Okelah, sebagai kalimat terakhir di tulisan panjang yang njelimet ini, penulis amatiran banyak omong ini akan mengingatkan kawan-kawan semuanya, bahwa apa yang kita tonton berpengaruh pada diri kita. Tonton yang baik-baik.
Share:

MEDIA DAN KINERJA POLRI

Ada banyak masyarakat yang meyakini, bahwa media adalah pilar ke-empat dalam alam berdemokrasi, setelah peran eksekutif, legislatif dan juga yudikatif. Ada banyak pula dari masyarakat kita yang meyakini, bahwa media telah menciptakan sistem pemerintahan kita yang penuh dengan transparansi. Lagipun, media memiliki tanggung jawab untuk terus memberikan informasi yang akurat dan terpercaya, sekaligus terhindar dari bahayanya pemberitaan hoax yang dapat memecah belah kesatuan bangsa.
Baru-baru ini, Polri memberikan penghargaan kepada sejumlah media di tanah air. penghargaan tersebut diberikan karena kontribusi media tersebut dalam membantu Korps Bhayangkara mengemban tugas melayani dan melindungi masyarakat. Juga sebagaimana yang dikutip dari NTMCPOLRI, bahwa penghargaan ikut diberikan kepada sejumlah Kabid Humas Polda se-Indonesia. Acara pemberian penghargaan itu digelar di Rupatama, Mabes Polri, Jalan Trunojoyo, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (15/3/2017). Penghargaan itu diberikan langsung oleh Kapolri Jenderal Tito Karnavian.
Adapun media yang memperoleh penghargaan tersebut ialah: LKBN ANTARA. Kategori televisi: tvOne, Metro TV, Kompas TV, INews TV, CNN, TVRI, JakTV, Tribata  TV, Liputan6. Kategori media cetak: Media Indonesia, Harian Pos Kota, Kompas dan Republika. Kategori radio: Elshinta, RRI dan Sonora FM dan terakhir  Detik.com yang menjadi medi daring satu-satunya yang mendapat penghargaan.

Beberapa media ini dinilai oleh Polri telah berusaha menyebarkan informasi bagaimana kinerja Polri yang sesungguhnya. Bagaimana tidak? Sebab selama ini citra kepolisian sempat runtuh di mata masyarakat, dan media memiliki kekuatan untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada kinerja kepolisian yang bersih dan bermartabat. Namun, tentu masyarakat sangat tidak ingin citra baik kepolisian itu hanya muncul di layar kaca saja. Oleh karena itu, Polri memang perlu meningkatkan profesionalisme anggotanya dalam menegakkan hukum tanpa pandang bulu. Sehingga, apa yang dimunculkan media terkait kinerja Polri bukan sekedar konstruksi yang penuh dengan realitas semu (pseudo event). Terakhir, semoga momentum kerjasama antara Polri dan sejumlah media ini, tidak menghilangkan daya kritis media dalam memberitakan kinerja mereka demi azas kemanfaatan bersama.  
Share:

Senin, 08 Mei 2017

Rezim Media

REZIM media merupakan sebut­an atas semakin berdaulat­nya media, ter­utama televisi dalam menyiarkan in­formasi se­putar polek­sos­budhan­kam. Hal ini muncul karena alam ke­bebasan yang tanpa batas. Sehingga me­nyebabkan tranformasi media men­jadi sebuah industri guna menge­ruk keuntungan, yang berimbas pada pe­ngabaian akan kepentingan publik un­tuk memperoleh informasi yang ber­­mutu. Rezim media tak melulu di­pim­pin oleh politisi sebagai corong­nya, juga termasuk peng­usaha yang ingin memperluas eksistensi bisnis­nya di bidang media.
Sejumlah negara berkembang seperti Thailand dan Malaysia dapat dirujuk untuk menunjukkan adanya prak­tik penggunaan media oleh pe­nguasa setempat. Sedangkan, di In­donesia hal ini pernah berlaku pada era Soeharto. Dimana majalah seperti Tem­­po, Tabloid deTIK, dan Editor di­cabut SIUPP-nya (Surat Izin Usaha Pe­­nerbitan Pers) oleh Departemen Pe­nerangan dengan beragam dalih. Na­mun yang pasti, Pemerintah kala itu risih dengan sikap kritis yang di­bawakan media di atas.
Sekarang, hal demikian memang tidak terjadi lagi. Namun, hingar-bi­ngar hegemoni media sebagai corong po­litik begitu kentara terasa. Apalagi, pemilik media tersebut berkoalisi de­ngan penguasa.
Salah satu bukti terbaik lainnya, bahwa kita hidup ditengah hegemoni rezim media adalah media turut berpe­ran dalam menentukan haluan arah hidup kita. Contohnya: Peng­gam­bar­an wanita cantik ialah yang ber­kulit bening, bertubuh sintal dan dengan rambut yang tergerai. Lucu­nya, kita pun meng­amini hal tersebut. Se­hingga, klop sudah kita ibarat ker­bau yang dicucuki hidungnya tanpa pernah sadar.
Atau seperti muatan gosip para se­lebritis yang terlalu dibesar-besar­kan (exe­gerasi). Juga muatan kekeras­an yang masuk ke layar kaca, dan tentu ber­dampak negatif pada tumbuh kem­bang serta pola pikir anak-anak kita. Bah­kan, pada acara yang bersifat meng­hibur sekalipun seperti humor, ko­medi atau lawakan, unsur-unsur ke­ke­rasan kerap menjadi bahan tertawaan.
Muatan-muatan seperti ini mem­buk­ti­kan, bahwa media sekarang ini lebih mendahulukan kepentingan bis­nisnya ketimbang kepentingan pu­blik, yang berdampak pada pe­nye­ra­ga­man isi siaran. Logically, media lain akan meniru program/tayangan media te­tangganya yang lebih diminati pe­mirsa. Tentu, dengan beragam mo­di­fikasi di sana sini.
Maka daripada itu, pendidikan media menjadi tameng yang diwajib­kan untuk menahan gempuran rezim media sekarang ini. Jangan sampai ma­syarakat menganggap hal-hal ter­sebut di atas sebagai suatu hal yang nor­mal dan sah-sah saja. Jangan sam­pai masyarakat terkungkung dalam doxa (suatu kondisi dimana ma­sya­rakat tidak sadar telah ditindas segi-segi kehidupannya). Jangan sam­pai kebebasan berbicara, me­nyam­pai­kan pendapat, serta kebebasan mem­per­oleh informasi menjadi legitimasi bagi mereka untuk melanggengkan be­rkuasanya rezim media.
Penguatan Lembaga KPI
Selain itu, amat sangat disayang­kan, jika KPI (Komisi Pe­nyiaran In­do­nesia) hanya menjadi co-regula­tion atau pen­damping setia pemerin­tah, dalam hal mengatur jalannya in­dus­tri penyiaran. Padahal, sudah se­yog­yanya KPI kembali bersifat inde­pen­den dan progresif dalam menentu­kan, mana tayangan yang layak dan tak layak untuk dikonsumsi pemirsa ta­nah air.
Sebab, rezim yang kita hadapi ini ti­daklah memaksakan kehendaknya me­lalui kekuatan impresif dengan me­manfaatkan aparatur negara. Melain­kan, dengan cara yang seolah de­mo­kratis lewat pembentukan pu­blic opinion (opini publik).
Mendamba TV yang Netral
Relasi antara televisi dan masya­ra­kat lokal bukan lagi seka­dar hubu­ngan media massa dan publik. Tetapi su­dah menjadi hubungan antara pro­dusen dan konsumen, atau sebagai co­rong politik kepada para pendukung­nya.
Tampaknya, pemilihan NET seba­gai stasiun yang me­nyiarkan Debat Pil­gub DKI session 2, karena melihat te­levisi ini sebagai salah satu dari se­kian banyak televisi yang netral da­lam porsi pemberitaan setiap paslon. Perlu didukung!
Sebab media sebagai sebuah lem­baga memiliki kewajiban untuk menyajikan program yang well infor­ma­ti­on kepada publik. Artinya, ma­syarakat harus memiliki informasi yang memadai dalam menentukan pi­lihannya nanti. Jadi, media massa ber­tanggung jawab memberikan infor­masi tentang para Paslon (pasangan calon) dari sisi yang paling objektif.
No-Gosip
Selain itu, pemberitaan seputar infotainment berbau sensa­sional dan merujuk kepada perilaku hidup yang tidak baik, seperti: gaya hidup yang hedonis, dramatisasi kehidupan, dan pesan-pesan yang tidak baik lainnya. Sudah sepatutnya tidak lagi menda­pat­kan tempat di hati pemirsa, yang haus akan hiburan. Maka pemilihan terhadap tayangan hiburan yang no-gosip dapat menjadi alternatif.
Semoga hal semacam ini dapat me­redam media sebagai sarana pe­nyebar informasi menjadi sarang jual-beli, yang tak lagi memerhatikan kua­litas sajiannya.
Masyarakat kita juga harus dilatih res­ponsif, agar hiburan­nya tak diang­gap dangkal dan murah oleh para produsen media.

Walhasil, masyarakat selain dari­pada memiliki hak untuk memperoleh in­formasi dan hiburan. Mereka juga me­miliki tanggung jawab untuk me­ngonsumsinya secara kritis, bukan menelannya secara mentah-mentah. ***
Share:

BTemplates.com

Pengikut